Sabtu, 23 Oktober 2010

Makmum di belakang Makmum Masbuk

Assalamu'alaikum Wr Wb

Apakabar para pembaca??

Sudah lama nih tidak menyapa para pembaca berhubung saya sendiri mengerjakan banyak tugas n menjalani UTS. Dan hasilnya pun bisa dikatakan cukup memuaskan. Alhamdulillah....

Alasan mengapa post ini ditulis berawal dari pertanyaan salah seorang Boxer bernama "Randy", jadi begini ceritanya....
Pada saat bel pulang berbunyi, Adzan Ashar pun terdengar. Beberapa Boxer segera bergegas menuju musholla untuk menjalankan ibadah Sholat Ashar. Kemudian Randy dan Faza pun langsung mengambil air wudhu dan memasuki Masjid Ar-Rahmah. Namun ternyata mereka berdua telah tertinggal dan terpaksa harus menunggu atau menjadi makmum dari makmum yang masbuk. Namun Randy memilih untuk diam.
"Mau langsung jd makmum apa bikin baru?", tanya Faza pada Randy.
"Kagak ah, ragu gua", jawab Randy.
"Ragu kenapa?", tanya Faza.
"Itu.., emang boleh ya makmum jadi imam?", Randy balik bertanya.
"Oh..., kagak tau juga sih, gua malah baru tau kayak gitu pas w masuk SMA", jawab Faza.
"Gua juga.., jadi ragu gua", ujar Randy
"Trus jadinya gimana? Bikin baru?", Tanya Faza
"Ya terserah sih. Kalo gua mah bikin baru aja. Soalnya kan kata hadist Tinggalkan oleh engkau perbuatan yang meragukan,menuju perbuatan yang tidak meragukan", jawab Randy
"Ya udah atuh, nunggu beres ini dulu", ujar Faza
Nah dari obrolan diatas maka post ini dibuat dan holi-hokian berhasil menemukan sebuah artikel yang mungkin saja menjawab keraguan seorang Randy.


Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni yang digelari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya,

عَنْ رَجُلٍ أَدْرَكَ مَعَ الْجَمَاعَةِ رَكْعَةً فَلَمَّا سَلَّمَ الْإِمَامُ قَامَ لِيُتِمَّ صَلَاتَهُ فَجَاءَ آخَرُ فَصَلَّى مَعَهُ فَهَلْ يَجُوزُ الِاقْتِدَاءُ بِهَذَا الْمَأْمُومِ؟

Ada seseorang yang mendapati jama’ah tinggal satu raka’at. Ketika imam salam, ia pun berdiri dan menyempurnakan kekurangan raka’atnya. Ketika itu, datang jama’ah lainnya dan shalat bersamanya (menjadi makmum dengannya). Apakah mengikuti makmum yang masbuk semacam ini dibolehkan?”

Jawaban beliau rahimahullah,

Mengenai shalat orang yang pertama tadi ada dua pendapat di madzhab Imam Ahmad dan selainnya. Akan tetapi pendapat yang benar, perbuatan semacam ini dibolehkan. Inilah yang menjadi pendapat kebanyakan ulama. Hal tadi dibolehkan dengan syarat orang yang diikuti merubah niatnya menjadi imam dan yang mengikutinya berniat sebagai makmum.
Namun jika orang yang mengikuti (yang telat datangnya tadi) berniat untuk mengikuti orang yang sudah shalat bersama imam sebelumnya (makmum masbuk), sedangkan yang diikuti tersebut tidak berniat menjadi imam, maka di sini ada dua pendapat mengenai kesahan shalatnya:

Pendapat pertama: Shalatnya sah sebagaimana pendapat Imam Asy Syafi’i, Imam Malik dan selainnya. Pendapat ini juga adalah salah salah pendapat dari Imam Ahmad.

Pendapat kedua: Shalatnya tidak sah. Inilah pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad. Alasan dari pendapat kedua ini, orang yang menjadi makmum pertama kali untuk imam pertama (makmum masbuk), setelah imam salam, maka ia statusnya shalat munfarid (sendirian).

Lalu mengenai makmum masbuk tadi yang menyelesaikan shalatnya, semula ia shalat munfarid, ia boleh merubah niat menjadi imam bagi yang lain sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjadi imam bagi Ibnu ‘Abbas tatkala sebelumnya beliau niat shalat munfarid. Seperti ini dibolehkan dalam shalat sunnah sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas tersebut. Hal ini pun menjadi pendapat Imam Ahmad dan ulama lainnya.  Namun disebutkan dalam madzhab Imam Ahmad suatu pendapat yang menyatakan bahwa seperti ini dalam shalat sunnah tidak dibolehkan. Sedangkan mengikuti shalat makmumm masbuk dalam shalat fardhu, maka di sini terdapat perselisihan yang masyhur di kalangan para ulama. Akan tetapi, yang benar adalah bolehnya hal ini dalam shalat fardhu maupun shalat sunnah karena yang diikuti menjadi imam dan itu lebih banyak daripada kedaannya shalat munfarid. Oleh karena itu, mengalihkan dari shalat sendirian menjadi imam, itu tidaklah terlarang sama sekali. Berbeda halnya dengan pendapat pertama tadi (yang menyatakan tidak bolehnya). Wallahu a’lam.

Demikian sajian singkat ini dari Majmu’ Al Fatawa (22/257-258). Semoga bermanfaat.

Artikel www.rumaysho.com




0 comments:

Posting Komentar